Tidak mudah bagi seorang pelatih bisa mencatatkan sejarah yang cukup fenomenal seperti Gian Piero Gasperini di Atalanta.
Gian Piero Gasperini berhasil meraih gelar Liga Europa untuk pertama kalinya.
Gelar pertamanya tersebut tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk timnya, Atalanta.
Sepanjang sejarah klub, tim berjulukan La Dea itu belum pernah mendapatkan piala level Eropa. Jangankan Eropa, Italia saja mereka hanya punya satu.
Piala yang dimiliki La Dea di Italia ialah Copa Italia yang didapat di tahun 1963.
Dengan kata lain, butuh 61 tahun untuk Atalanta bisa mendapatkan piala yang kedua sepanjang sejarah klub.
Piala tersebut didapat setelah Atalanta berhasil mengalahkan Bayer Leverkusen di babak final Liga Europa.
Pertandingan yang berhasil dengan skor 3-0 sekaligus membuat Bayer Leverkusen menerima kekalahan pertamanya dari 51 pertandingan terakhir klub di semua kompetisi.
BACA JUGA: Aturan Baru Copa America 2024: Kartu Pink, Apa Kegunaannya?
Tidak ada pelatih di era modern yang mencapai hal-hal lebih besar dengan klub kecil dan pelatih yang sudah berusia 66 tahun.
Gian Piero Gasperini belum pernah meraih trofi pun sebagai pelatih. Atalanta belum pernah mengangkat satu pun selama 61 tahun.
Dan mereka baru kalah lagi di final Coppa Italia berturut-turut (yang ketiga di bawah asuhan Gasperini) minggu lalu.
Di laga menghadapi Bayer Leverkusen, banyak pakar sepakbola yang menilai kalua peluang Atalanta mendapatkan piala adalah nol.
Bagaimana tidak, Bayer Leverkusen tampil sangat luar biasa di musim ini. Mereka tidak terkalahkan 361 hari dan tengah mengejar treble winner.
Bahkan, ada yang khawatir bahwa Gasperini bersiap menghadapi kekalahan dengan berargumen bahwa hasil final Liga Europa tidak relevan.
Jika mereka kalah, prestasi Atalanta di bawah asuhan Gasperini tetap patut mendapat respek.
Masalahnya adalah, jika mereka tidak sepenuhnya membongkar sisi tak terbendung Xabi Alonso, mereka mungkin tidak akan mendapatkannya.
Pasalnya Atalanta telah lama menentang logika, dan baru sekarang mereka akan mendapatkan pujian yang sangat pantas mereka dapatkan.
BACA JUGA: Girona: Manchester City Cabang Spanyol yang Lolos ke Liga Champions
Selama karir kepelatihannya yang panjang, Gasperini telah membangun reputasi dalam membina talenta muda.
Ia juga memainkan sepakbola menyerang yang menarik, dan meraih hasil melawan tim dengan sumber daya yang lebih baik.
Sempat dianggap terlalu berisiko, sistem 3-4-3 yang menjadi ciri khasnya sudah cukup familiar di level tertinggi sepakbola Eropa.
Gasperini pun mengaku sangat senang atas pencapaian timnya yang bisa saling mempersembahkan piala.
“Rasanya luar biasa. Ini adalah pencapaian dan sumber kepuasan yang luar biasa, dicapai dengan musim yang sangat bagus dari seluruh tim.
“Apakah ini titik tertinggi dalam karier saya? Ya, dari segi prestasi dan gengsi, tentu saja. Dalam hal kepuasan, untungnya saya punya cukup banyak, meski mungkin tidak pada level yang sama.
“Saya tidak berpikir memenangkan piala selalu menjadi bagian dari parameter yang digunakan untuk menilai kesuksesan.
“Setiap orang mempunyai tujuan masing-masing. Ketika Anda berhasil melampaui mereka sejauh ini, seperti yang terjadi di Atalanta, Anda tetap harus merasa sangat puas.
“Jika kita berhasil menambahkan satu cup pun, tentu kita akan semakin puas.
BACA JUGA: Francesco Farioli Jadi Manajer Italia Pertama Ajax Amsterdam
Percassi, CEO Atalanta, adalah orang yang cukup kaya. Dia menghasilkan banyak uang dengan bekerja bersama Benetton dan berinvestasi di industri tata rias.
Namun, mantan bek yang terpaksa berhenti bermain pada usia 24 tahun ini tidak memiliki kantong yang cukup untuk membeli pemain terbaik di Italia sekalipun.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Percassi untuk bersikap bijaksana.
Seperti yang pernah ia katakan kepada Sky Sport Italia, “Menjaga keseimbangan pembukuan adalah hal mendasar bagi kami”
“Tidak ada klub yang memiliki kinerja lebih baik di Italia, dan bahkan mungkin di Eropa.
Mereka berhasil menghasilkan keuntungan selama bertahun-tahun, sekaligus mengakuisisi stadion mereka dari pemerintah kota setempat.
Hal tersebut menjadikan mereka satu dari lima tim Serie A yang memiliki stadion sendiri.
Tidak hanya itu, mereka juga kemudian memodernisasi stadion tersebut agar memenuhi standar UEFA.
Ketika tahap akhir pembangunan kembali selesai sebelum awal musim depan, kapasitasnya akan melonjak menjadi 25.000.
“Ini merupakan investasi terbesar dalam sejarah Atalanta, tapi kami sangat bangga, karena Atalanta dan masyarakat Bergamo berhak mendapatkan stadion dengan kualitas seperti ini,” kata Luca Percassi kepada Sky Sports.
“Dapat melihat tembok kota dari tribun benar-benar bermakna, ini adalah rumah bagi tim dan para penggemarnya.”
Lantas, bagaimana Atalanta bisa mencapai semua itu? Dengan mengidentifikasi dan mengembangkan pemain yang tiada duanya di Italia.
Pembalap Selandia Baru Liam Lawson akan membalap untuk Red Bull bersama juara dunia Max Verstappen…
Penemuan kotoran tikus di stadion Old Trafford Manchester United telah menyebabkan inspektur menurunkan peringkat kebersihan…
Manajer Arsenal Mikel Arteta mengatakan pemain sayap Bukayo Saka akan absen "berminggu-minggu" karena cedera hamstring.…
Manajer Manchester United Ruben Amorim mempertanyakan "pilihan" orang-orang yang dekat dengan penyerang Marcus Rashford. Rashford,…
Tottenham "kekurangan di beberapa area" dan "perlu memperkuat" selama jendela transfer Januari, kata manajer Ange…
Klub papan bawah La Liga, Valencia, telah melakukan pendekatan resmi kepada pelatih kepala West Bromwich…