Mantan pelatih Timnas Indonesia, Jacksen F. Tiago, membagikan perspektifnya soal dunia sepak bola di negara asalnya, Brasil, yang bisa menjadi pelajaran bagi para pesepak bola di Indonesia, terutama penggawa Timnas Indonesia U-17 yang baru saja tampil di Piala Dunia U-17 2023.
Kariernya di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1994, tepatnya ketika bergabung dengan Petrokimia Putra. Sejak saat itu, dia menghabiskan perjalanan hidupnya, baik sebagai pemain maupun pelatih di Indonesia.
Itulah sebabnya, Jacksen ingin berbagi perspektif, terutama berkaitan dengan perbedaan kultur sepak bola antara negeri Samba dengan Indonesia. Aspek pertama yang disinggung oleh lelaki berusia 55 tahun itu ialah profesionalisme.
Jika sudah terjun di dunia sepak bola, kata Jacksen, para pemain akan mengerahkan seluruh tenaga dan fokus. Sebab, mereka menganggap bahwa sepak bola merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki derajat hidup keluarganya.
Sementara itu, para pemain Indonesia masih belum bisa sepenuhnya mencurahkan waktu untuk sepak bola. Setidaknya, itu terbukti dari para pemain yang terikat status dengan instansi lain, baik itu di dunia pemerintahan, militer, hingga pekerjaan sampingan.
“Yang membedakan Brasil dengan Indonesia terutama berkaitan dengan aspek profesionalitas. Kebanyakan pemain Indonesia berpikir bahwa sepak bola itu masih sekedar hiburan, bukan profesi utama,” kata Jacksen saat menjadi narasumber di konferensi pers Pusat Informasi Piala Dunia U-17 2023 di Solo, Rabu (22/11/2023).
“Berbeda dengan para pemain di Brasil. Kalau kami bekerja di dunia sepak bola, fokus kami 100 persen untuk sepak bola. Jadi, kami menanggapi setiap aktivitas sepak bola itu sebagai kesempatan untuk bisa meningkatkan kesejahteraan kita dan keluarga. Di situ ada perbedaan dari aspek profesionalisme,” kata dia melanjutkan.
Menurut dia ini terlihat saat pemain menjalani latihan. Ada sejumlah pemain yang tidak serius berlatih. Mereka hanya ingin bertemu kawan dan kemudian mengobrol lalu berlatih sekadarnya. Namun ada pula yang serius berlatih.
Selain itu, mantan juru taktik timnas Indonesia pada medio 2013 itu juga menyebut soal keseriusan setiap klub di Brasil untuk fokus membina pemain muda. Berbagai infrastruktur yang dibutuhkan bagi pemain tersedia dengan baik.
“Di Brasil, setiap klub memiliki psikolog, terutama untuk pembinaan usia dini. Sebab, seorang pemain muda itu dianggap sebagai aset yang sangat berharga bagi klub. Semua infrastruktur yang dibutuhkan pemain untuk berkembang itu tersedia,” katanya.
Saking fokus ada sepak bola, para pemain sudah datang ke tempat latihan jauh sebelum latihan dimulai. Pasalnya, mereka harus menjalani tes kesehatan, menjaga kebugaran dengan masuk tempat fitnes (gym) dan bahkan makan bersama.
“Kami biasanya berlatih jam tiga sore. Namun, pemain sudah datang ke klub pukul 10 pagi. Setelah datang, mereka masuk laboratorium terlebih dahulu untuk tes kesehatan, lalu makan siang. Selanjutnya, mereka beristirahat da melanjutkan aktivitas di pusat kebugaran sebelum latihan di lapangan,” ujar Jacksen yang sebelumnya menangani Persis Solo.
Selain itu, pelatih yang sukses membawa Persipura Jayapura meraih tiga gelar juara Indonesia Super League (ISL) itu berharap, klub-klub di Indonesia bisa mulai fokus membina pemain usia dini sebagai proyek jangka panjang.
“Ada perbedaan yang sangat besar dengan Indonesia, yakni soal profesionalisme. Di sana, pemain muda dianggap sebagai sebuah aset, bukan hanya sekedar seorang atlet. Namun, itu semua membutuhkan dana. Saya lihat, Indonesia masih belum punya visi ke arah sana,” ujarnya.
“Jarang sekali ada klub yang benar-benar mengambil pemain di usia 15 tahun dan dijadikan proyek hingga pemain itu berusia 19 tahun dan disiapkan tampil di tim senior. Itu masih jarang ada, hanya ada beberapa klub yang punya ide itu,” tambahnya.
Jacksen menuturkan bila pemain yang memperkuat timnas U-17 sebaiknya dikembalikan ke klub. Kemampuan mereka setidaknya tetap terasah karena bermain dan berlatih di klub.
Pelatih yang memulai dan menutup karier sebagai pemain di Petrokimia Gresik ini mendukung apa yang disampaikan eks pelatih yunior timnas Fakhri Husaini. Menurut dia pemain muda sebaiknya bisa bermain di klub-klub di luar negeri.
Hanya mereka sebaiknya selektif dengan memilih bermain di sejumlah negara seperti Brasil, Italia, Inggris, Spanyol, Jerman, Belgia, Prancis dan Portugal. Tak masalah mereka bermain di divisi bawah karena liga di negara-negara tersebut sudah tertata rapi.
“Pemain muda Indonesia bisa belajar, terutama attitude dan kedisiplinan. Tidak hanya belajar sepak bola tetapi sikap. Bagaimana menghormati wasit dan keputusannya, bagaimana menghormati pemain lawan. Mereka yang sudah pernah ke Eropa misalnya tentu akan berbeda saat pulang ke Indonesia,” kata Jacksen.
“Karena itu saya setuju dengan pernyataan Fakhri. Tak masalah bermain di divisi bawah di liga negara-negara tersebut. Meski bermain di divisi bawah, tetapi liganya sudah rapi,” ucapnya lagi.
Jacksen juga menyatakan bila potensi pemain muda Indonesia sangat bagus. Mereka juga mendapat pengalaman yang berharga saat bermain di Piala Dunia U-17. Bila pembinaan sepak bola makin berkembang dengan menekankan profesionalisme, maka sepak bola Indonesia bakal makin maju. Harapan mencapai generasi emas di 2045 tentu bisa tercapai.
Pembalap Selandia Baru Liam Lawson akan membalap untuk Red Bull bersama juara dunia Max Verstappen…
Penemuan kotoran tikus di stadion Old Trafford Manchester United telah menyebabkan inspektur menurunkan peringkat kebersihan…
Manajer Arsenal Mikel Arteta mengatakan pemain sayap Bukayo Saka akan absen "berminggu-minggu" karena cedera hamstring.…
Manajer Manchester United Ruben Amorim mempertanyakan "pilihan" orang-orang yang dekat dengan penyerang Marcus Rashford. Rashford,…
Tottenham "kekurangan di beberapa area" dan "perlu memperkuat" selama jendela transfer Januari, kata manajer Ange…
Klub papan bawah La Liga, Valencia, telah melakukan pendekatan resmi kepada pelatih kepala West Bromwich…