Gianluigi Buffon Tak Butuh Gelar Champions League Untuk Buktikan Kualitasnya

Tio Prasetyon Utomo

September 23, 2022 · 3 min read

Gianluigi Buffon Tak Butuh Gelar Champions League Untuk Buktikan Kualitasnya
Football | September 23, 2022
Gianluigi Buffon: Tak Butuh Champions League Untuk Buktikan Kualitas Saya

MSPORTS – Kiper legendaris Italia, Gianluigi Buffon, menjelaskan kenapa ia masih bermain hingga berumur 44 tahun. Ia juga mengatakan kenapa ia tidak butuh Champions League untuk membuktikan kualitasnya.

Mantan bintang Juventus tersebut merupakan salah satu kiper terbaik sepanjang masa.

Ia telah memenangkan berbagai gelar di Prancis dan Italia, hingga Piala Dunia.

Meskipun begitu, ia gagal menorehkan salah satu trofi terpenting di Eropa, Champions League.

Namun ia tidak memerlukan gelar tersebut untuk membuktikan kualitasnya sebagai penjaga gawang.

“Saya terus bermain untuk berbagai alasan. Karena saya masih merasa kuat dan kompetitif, karena saya merasa saya menjadi bagian dari era emas olahraga,” kata Buffon, dikutip dari Football Italia.

“Saya di usia di mana saya bisa memutuskan pensiun kapan pun saya mau, saya yang mengontrol situasi ini, tapi pilihan saya selalu ada alasannya.”

“Saya kembali ke Parma karena saya bahagia melihat betapa bangganya para fans melihat saya di gawang memakai warna Gialloblu lagi.”

Buffon membela Juventus selama 19 musim. Ia ikut terjerembab ke Serie B pada 2006 silam hingga termasuk dalam skuad yang meraih titel Scudetto tujuh musim beruntun.

Total ia meraih 10 titel Scudetto, enam Coppa Italia, Ligue 1, UEFA Cup, serta menjadi runner-up Champions League di musim 2002–03, 2014–15, dan 2016–17.

Bersama tim nasional Italia, ia merupakan pemilik caps terbanyak dengan 176 penampilan. Puncak kariernya bersama gli Azzurri ialah saat memenangkan Piala Dunia 2006.


“Saya telah menang begitu banyak dalam hidup saya, tapi saya juga menyerahkan gelar lain. Saya senang untuk berjuang untuk menang, tapi menurut saya pribadi saya juga meraih sukses dengan afeksi dari fans,” lanjutnya.

“Dan saya tidak perlu, contohnya, delapan titel Champions League untuk tahu betapa bagusnya saya. Bahkan tanpa memenangkan itu, saya tahu betapa berharganya saya.”

“Saya gunakan kritikan sebagai bahan bakar, terutama semakin saya tua. Saat muda, kritikan sangat menyakitkan dan membuat Anda goyah. Ketika Anda dewasa, Anda melihatnya sebagai insentif. Beberapa kali, saya memerlukan kritikan itu, dan mengingat dari mana saya berada.”